OBATDIGITAL – Trombosit, atau keping darah, , lekat dengan penyakit demam berdarah dengue (DBD). Jika kadar trombosit dalam darah seseorang berkurang drastis di bawah angka normal, maka itu salah satu pertanda orang itu terkena DBD. Trombosit berfungsi menghentikan perdarahan pada kasus DBD.
Selain DBD ada penyakit lain akibat kekurangan trombosit, antara lain, ITP (autoimun), efek kemoterapi, anemia aplastik, keracunan obat, infeksi berat, bahkan kanker.
Bagaimana jika trombosit berlebih? Prof. DR. dr. Aru Wisaksono Sudoyo, SpPD-KHOM, FINASIM, FACP, Ketua Umum Yayasan Kanker Indonesia (YKI) mengatakan itu juga berbahaya bagi tubuh. Jika terjadi seseorang menghadapi risiko serius seperti stroke, serangan jantung, bahkan keguguran.

Jumlahnya yang berlebihan bisa menjadi indikator awal dari kondisi serius, termasuk kanker darah. “Masyarakat perlu memahami bahwa edukasi dini bukan hanya mencegah, tapi juga memberi harapan untuk deteksi dan penanganan yang lebih baik” kata Aru.
Itu diungkapkan Aru dalam webinar yang digelar bersama perusahaan farmasi Combiphar.belum lama ini. Webinar itu diselenggarakan agar masyarakat tahu pentingnya menjaga kadar normal trombosit.
Menurut Aru, Jika kadar trombosit melebihi 450.000 per mL darah, seseorang berisiko mengalami gangguan aliran darah, terutama di arteri. Kondisi ini disebut trombositemia, dan bisa dipicu oleh infeksi, anemia defisiensi besi, penyakit radang, kanker, atau bahkan mutasi genetik seperti JAK2, CALR, dan MPL.
“Trombosit berlebih bisa hadir tanpa gejala. Tapi bisa juga menimbulkan sakit kepala, gangguan penglihatan, nyeri di tangan atau kaki, bahkan pembesaran limpa,” ujar Prof. Aru.
Data menunjukkan bahwa 38–57 orang per 100.000 populasi bisa mengalami kelebihan trombosit. Menariknya, meski secara global wanita lebih rentan, di Indonesia justru pria lebih banyak mengalami kondisi ini.
Prof. Aru menjelaskan bahwa pengendalian trombosit berlebih dapat dilakukan dengan obat-obatan seperti Hidroksiurea (HU) dan Anagrelide (ANA). HU bekerja dengan menghambat pembentukan sel darah secara umum, sehingga bisa menimbulkan efek samping berupa anemia dan leukopenia. Sementara ANA lebih spesifik menghambat pembentukan trombosit saja.
“Kelebihan trombosit wajib dikendalikan. Jika tidak, risiko stroke, serangan jantung, dan keguguran bisa meningkat tajam,” tegas Prof. Aru.
“Kami ingin masyarakat tahu bahwa trombosit bukan sekadar angka di hasil lab. Ia bisa menjadi sinyal penting dari tubuh, dan harus dipahami sejak dini,” pungkas Prof. Aru.
Sementara itu, Lily J. Soenaryo, VP Pharma Combiphar menyampaikan, sebagai perusahaan yang berkomitmen pada kesehatan masyarakat, Combiphar mendukung penuh upaya edukasi seperti webinar ini.
“Kami percaya bahwa pemahaman awam yang baik tentang trombosit dapat membantu masyarakat mengambil keputusan kesehatan yang lebih bijak dan mencegah komplikasi serius sejak dini.” tutup Lily.
Aries Kelana
Sumber: Yayasan Kanker Indonesia.







Berita Terkait
InterSystems Kembangkan Rekam Medis Elektronik Berbasis AI
Di Hari Kesadaran Kanker Hari, AstraZeneca-Siloam Hospital Ingatkan Bahaya Penyakit Ini
YKI Luncurkan Kartu Tanda Anggota Khusus Penyintas Kanker