
OBATDIGITAL – Tarif baru impor sudah diketok oleh pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Tarif tersebut aka berlaku efektif mulai 5 April ini.
Dalam ketentuan itu, Cina bakal dikenakan tarif impor 34%, sedangkan Indonesia mendapat tarif 32%. Lalu Vietnam mendapat tarif 46% sedangkan Srilanka kena 44%. Tarif impor itu berlaku bagi semua industri, termasuk industri farmasi. Lalu apa dampaknya?
Belum ada reaksi dari industri farmasi. Namun berdasarkan survei yang dilakukan
kelompok dagang Organisasi Inovasi Bioteknologi (BIO), akan muncul dampak bea tambahan yang dapat terjadi pada akses pasien terhadap obat-obatan.
Seperti dilansir Fierce Pharma, hampir 90% perusahaan bioteknologi AS mengandalkan beberapa bahan impor untuk setidaknya setengah dari produk mereka yang disetujui FDA (Badan Pengawas Obat dan Makanan AS). Itu menurut menurut survei BIO yang dilakukan pada bulan Februari 2024 – dua bulan sebelum adanya tarif baru impor.
Survei tersebut—yang melibatkan perusahaan farmasi baru hingga perusahaan komersial dengan pendapatan tahunan sebesar UD$1 milyar atau lebih—mencerminkan kekhawatiran di seluruh industri bahwa tarif yang ditetapkan oleh Gedung Putih dapat menghambat akses ke obat-obatan yang terjangkau, menghambat inovasi, dan memaksakan birokrasi yang tidak perlu.
Sebagian besar akan kesulitan mengimpor bahan baku obat dan vaksin, begitu pula ongkos pembangunan fasilitas pabrik yang juga mengandalkan bahan dari impor untuk keperluan riset dan pengembangan. Ini berdampak pada ongkos yang pada gilirannya menaikkan harga obat. Negara-negara miskin yang menggantungkan obat murah pun ikut terpengaruh.
Trump menandatangani perintah eksekutif pada tanggal 1 Februari untuk mengenakan tarif sebesar 10%—yang kemudian digandakan menjadi 20%—atas impor dari Cina dan 25% atas impor dari Kanada dan Meksiko. Kemudian, pada pertengahan Februari, presiden memberlakukan “tarif sebesar 25% atau lebih tinggi” atas produk farmasi, ancaman yang digandakannya minggu ini.
Jika kita tinjau lebih jauh hasil survei BIO, 94% perusahaan yang disurvei mengatakan mereka memperkirakan tarif terhadap Uni Eropa akan menaikkan biaya produksi. Sementara itu, 82% responden memperkirakan tarif terhadap Kanada akan menaikkan biaya produksi, dibandingkan dengan 70% responden yang memperkirakan tarif terhadap Tiongkok dan 56% memperkirakan tarif terhadap India.
Perlu diketahui, AS merupakan pasar farmasi terbesar di dunia dan mengimpor sekitar US$210 milyar produk obat pada tahun 2024.
Aries Kelana
Sumber: fiercepharma.com
Berita Terkait
Ini yang dilakukan Phillips Untuk Membantu Penanganan Kanker Anak
Hadapi Penyakit Akibat Perubahan Iklim, Universitas Nanyang Singapura Dirikan Pusat Riset Baru
Berebut Membuat Obat Kanker Lini Pertama